Di IdeaFest 2025, Susilo Bambang Yudhoyono Kejutkan Publik dengan Lagu, Puisi, dan Lukisan Bertema Perdamaian

Navaswara.com – Ada adagium lawas yang dikenang di kalangan militer Barat, “Old soldier never die, they just fade away”. Namun, di Indonesia, pemaknaan itu agaknya perlu sedikit direvisi. Setelah mengenal lebih dekat figur seperti Susilo Bambang Yudhoyono, sang Presiden keenam Republik, rasanya lebih tepat bila diubah menjadi, “Old soldier never die, and they never fade away. They only go when The Almighty call them.”

Inilah esensi seorang prajurit sejati. Pensiun hanyalah status administrasi, bukan panggilan jiwa. Semangat pengabdian ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ tak lekang dimakan waktu. SBY, meski telah purna tugas dari Istana Negara, membuktikan bahwa seorang pemimpin dan prajurit tak pernah berhenti memberikan sumbangsih.

Hal tersebut begitu kentara dalam gelaran tahunan IdeaFest 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Minggu, 2 November 2025. Di tengah riuh rendah semangat generasi muda yang mengusung tema “(Cult)ivate the Culture”, SBY hadir bukan hanya sebagai Presiden ke-6 RI, melainkan sebagai seorang Seniman.

Kejutan di Balik Lagu “Bintang”

Sesi IdeaTalks yang dinantikan mendadak terasa hangat. Sebelum membahas tajuk utama, “The Purpose of Leadership: Vision, Integrity, and Legacy in a Changing World”, SBY memberikan kejutan yang sontak membuat ruangan bergemuruh. Ia, yang tampil santai dalam balutan jaket bomber, melantunkan lagu lawas milik Anima, “Bintang”.

Ini bukan intermezo semata, melainkan sebuah pesan yang dibingkai dalam nada.

Kepada pemandu acara, Andy F. Noya, SBY menjelaskan alasan di balik pemilihan lagu rilisan 2006 tersebut. “Saya ingin semua jadi bintang nanti, sampai pada profesinya, pada masa depan yang dipilihnya,” ujar SBY. Sebuah harapan tulus dari seorang pemimpin kepada tunas-tunas bangsa, agar kelak mereka semua berkesempatan untuk bersinar.

Penggalan lirik lagu “Bintang” sendiri, menurut SBY, mengandung makna mendalam, tentang cinta, kesabaran, dan pengorbanan—tiga pilar yang tak terpisahkan dari perjalanan hidup seorang pemimpin. Perkenalan yang manis ini menegaskan sisi lain SBY, yang memang dikenal sangat dekat dengan seni. Ia pernah menjadi anak band di masa remaja, dan hingga kini telah menelurkan sejumlah album serta karya lagu yang dinyanyikan oleh artis-artis kenamaan.

Kanvas dan Nurani Sang Jenderal

Diskusi kemudian mengalir pada isu kepemimpinan. Bersama Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, SBY mendorong anak muda untuk memiliki kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi kolaborasi dalam menghadapi perubahan global.

Namun, di tengah pembahasan yang serius, Andy F. Noya berhasil menarik keluar sisi reflektif SBY sebagai seniman. SBY, yang kini semakin tekun melukis dan menulis puisi, membuktikan tesis Noya bahwa kepemimpinan sejati tidak berhenti ketika masa jabatan usai, tetapi berubah bentuk menjadi karya, warna, dan nada.

Di atas panggung IdeaFest 2025, dipamerkan pula beberapa lukisan karyanya. SBY menuturkan, bagi dirinya, kanvas bukan sekadar media ekspresi, melainkan ruang refleksi atas nurani, bahkan metode pemulihan jiwa. Di balik sapuan kuas yang lembut, tersimpan kegelisahan, harapan, dan kenangan.

Salah satu lukisan yang menyita perhatian adalah “Stop War”. Di sini, SBY bukan lagi berbicara sebagai Presiden atau Jenderal, melainkan sebagai seorang manusia yang resah terhadap konflik global.

“Saya risau dengan terjadinya peperangan yang memakan korban jiwa yang besar dan dunia tidak mampu menghentikan,” ungkap SBY.

Lukisan itu adalah seruan moral, sebuah “moral appeal” dari seorang seniman kepada para pemimpin dunia. Mengutip perkataan Fisikawan Albert Einstein dan negarawan Irlandia, Edmund Burke, SBY menegaskan bahwa tragedi kemanusiaan tidak boleh dibiarkan tanpa ada langkah serius untuk menghentikannya.

Selain seruan moral, karya seni juga menjadi jalan SBY mengenang kasih sayang. Ia tak menampik, berkarya, termasuk melukis, adalah caranya untuk mengenang kebersamaan dengan almarhumah Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono).

“Sekarang saya mengenang kebersamaan mengenang jalinan kasih sayang, saya sudah bisa membaik. Tapi saya terus berkarya… Ibadah bagi saya,” tutur SBY.

Puisi di Penutup Kisah

Sesi yang hangat itu mencapai klimaksnya ketika Andy F. Noya spontan meminta SBY membacakan salah satu puisinya. Hadirin beruntung. Untuk pertama kalinya di hadapan publik luas, SBY membacakan puisinya sendiri yang berjudul “Gunung Merapi”.

Sebuah momen intim, inspiratif, dan otentik.

Dari seorang prajurit yang menjunjung tinggi kedisiplinan, seorang pemimpin yang memegang teguh visi, hingga kini menjadi seorang seniman yang menyuarakan nurani, SBY membuktikan bahwa hidup adalah proses belajar yang tak pernah selesai, sebuah “universitas abadi”. Dan di usianya, ia masih terus mengabdi, bukan dengan seragam militer, melainkan dengan kuas, pena, dan suara yang menyentuh.

Ia adalah bintang yang tak pernah padam.

 

Foto: Dok. Mufti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *