Navaswara.com – Setiap bangsa memiliki cara sendiri untuk mengenang masa lalunya. Ada yang menjaganya melalui monumen, ada pula yang menuliskannya dalam naskah, lagu, atau ritual yang diwariskan turun-temurun. Dari beragam bentuk itulah identitas sebuah bangsa bertahan di tengah perubahan zaman yang terus bergulir. Di Indonesia, upaya menjaga ingatan kolektif itu kini menemukan bentuk baru yang semakin diakui dunia.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) tampil di ajang internasional The Best in Heritage 2025 di Barcelona pada Oktober lalu. Melalui presentasi program Mainstreaming Naskah Nusantara, Indonesia menegaskan komitmennya dalam pelestarian warisan dokumenter dunia. Penghargaan UNESCO/Jikji Memory of the World Prize 2024 yang diraih Perpusnas menjadi pengakuan terhadap kerja panjang para filolog dan konservator yang menjaga khazanah seperti Babad Diponegoro, yang telah tercatat di UNESCO sejak 2013.
Program ini memastikan agar warisan budaya tetap mengalir seperti sungai yang membawa memori bangsa menuju samudra identitas nasional.
Indonesia menyimpan warisan budaya yang amat luas. Hingga kini terdapat 13 warisan budaya takbenda, 6 warisan budaya benda, 4 warisan alam, dan 11 warisan dokumenter yang telah diakui UNESCO. Jumlah sepuluh situs Warisan Dunia menempatkan Indonesia di posisi teratas di Asia Tenggara.
Pada 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi merekomendasikan 272 budaya takbenda untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, hasil seleksi dari 668 usulan yang datang dari 32 provinsi. Upaya ini menjadi bagian dari program berkelanjutan Pemajuan Kebudayaan dengan melibatkan pemerintah, komunitas, dan masyarakat luas.
Koordinasi lintas kementerian juga diperkuat. Melalui Keputusan Menko PMK Nomor 16 Tahun 2021, dibentuk Tim Koordinasi Nasional Pelestarian Warisan Budaya dan Alam Indonesia untuk menyusun arah kebijakan nasional. Dalam rapat koordinasi Oktober 2024, pemerintah menekankan pentingnya standar operasional yang dapat digunakan bersama di seluruh lini pelestarian.
Realitas yang Masih Terbuka
Di balik prestasi yang membanggakan, masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan. Penelitian dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada Juli 2024 menemukan baru sekitar 3.000 manuskrip keagamaan yang berhasil terdokumentasi, sebagian besar hanya dalam bentuk foto. Banyak manuskrip tersimpan di rumah pribadi tanpa perawatan memadai, rentan rusak oleh kelembapan, tinta yang luntur, atau bencana alam.
Tantangan serupa juga terjadi pada situs warisan alam seperti Tropical Rainforest Heritage of Sumatra yang sejak 2011 masuk daftar World Heritage in Danger akibat perambahan dan perburuan liar. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengakuan dunia belum cukup untuk menjamin perlindungan nyata di lapangan.
Hambatan Struktural dan Sosial
Kurangnya perawatan, minimnya anggaran, serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi hambatan utama pelestarian budaya. Banyak situs bersejarah terbengkalai, sementara tenaga ahli pelestarian masih sangat terbatas.
Tindakan vandalisme dan perdagangan artefak ilegal juga kerap terjadi. Sementara peraturan daerah terkait pelestarian budaya belum tersosialisasi secara luas. Banyak warga belum memahami hak dan tanggung jawab mereka dalam menjaga peninggalan leluhur.
Padahal, jika dikelola dengan baik, cagar budaya bisa menjadi sumber kesejahteraan ekonomi melalui pariwisata dan industri kreatif.
Digitalisasi: Peluang dan Tantangan Baru
Transformasi digital menghadirkan peluang besar. Melalui portal Khastara (https://khastara.perpusnas.go.id/), publik dapat mengakses naskah klasik secara daring. Program ini tidak hanya menyelamatkan naskah langka, tetapi juga menghidupkannya kembali lewat pameran, teater, dan konten digital lainnya.
Peningkatan jumlah pengguna internet di Indonesia membuka ruang bagi pelestarian dan promosi budaya. Komunitas batik di Yogyakarta, misalnya, berhasil memanfaatkan e-commerce untuk memperluas pasar global. Musik tradisional pun kini hadir di Spotify dan Apple Music, memberi ruang bagi generasi muda untuk mengenal kembali warisan leluhur.
Namun digitalisasi juga membawa risiko. Akses internet yang belum merata membuat banyak daerah tertinggal. Selain itu, modifikasi berlebihan dalam proses digital dapat mengaburkan nilai asli karya budaya.
Pelestarian budaya tidak hanya berfungsi menjaga sejarah, tetapi juga dapat menjadi penggerak ekonomi. Situs sejarah yang dikelola profesional bisa menjadi magnet wisata dan menciptakan lapangan kerja baru.
Sayangnya, potensi ini belum digarap maksimal. Banyak daerah kaya budaya belum mampu mengintegrasikan pelestarian dengan pariwisata berkelanjutan. Industri kreatif berbasis budaya membutuhkan dukungan infrastruktur, pelatihan, dan akses modal agar bisa berkembang.
Arah Baru: Kolaborasi dan Keandalan Data
Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda periode 2023–2025 menekankan pentingnya validitas data sebelum suatu nilai budaya diajukan ke UNESCO. Data yang akurat menjadi fondasi pelestarian agar tidak berhenti pada pengakuan administratif, melainkan berkembang menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan.
Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan komunitas budaya sangat dibutuhkan. Pedoman dan SOP pelestarian harus disusun secara jelas agar seluruh pihak memiliki arah yang sama dalam menjaga keberlanjutan.
Menjaga Aliran Memori Kolektif
Pelestarian budaya merupakan upaya menjaga identitas bangsa sekaligus menghubungkan generasi masa kini dengan akar sejarahnya. Warisan budaya harus terus mengalir dari masa lalu menuju masa depan melalui kesadaran, komitmen, dan tindakan nyata.
Indonesia telah membuktikan diri di panggung dunia. Tantangan berikutnya adalah memastikan agar warisan budaya tetap hidup dan bernilai bagi generasi mendatang. Tidak hanya sebagai catatan dalam dokumen internasional, melainkan sebagai napas yang menghidupkan jati diri bangsa.
