Navaswara.com – Di sebuah ruang tamu, seorang ibu menatap khawatir putranya yang berusia 10 tahun. Sudah tiga jam bocah itu terpaku pada layar ponsel, jempolnya terus menggulir YouTube Shorts dan Roblox. Saat diminta berhenti, ia marah. Sang ibu hanya bisa menghela napas, terjebak antara ingin melindungi dan takut anaknya dikucilkan.
Cerita semacam ini kini jadi kenyataan di banyak rumah. Fenomena yang oleh psikolog sosial Jonathan Haidt disebut “The Great Rewiring” atau pemrograman ulang masa kanak-kanak, telah mengubah cara generasi muda tumbuh, belajar, dan merasakan dunia.
Selama bertahun-tahun, kesehatan mental remaja cukup stabil. Namun sejak awal 2010-an, grafiknya menurun tajam. Depresi, kecemasan, dan perilaku melukai diri sendiri meningkat drastis di berbagai negara.
Di Indonesia, gejalanya juga mencemaskan. Studi di Kota Jambi pada 2023 menunjukkan 70,6% remaja mengalami gangguan dismorfik tubuh, 49,4% kecanduan internet, dan 46% memiliki keinginan bunuh diri. Menurut Survei Kesehatan Nasional 2023, 2% penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun menghadapi gangguan mental, dengan depresi dan kecemasan sebagai kasus terbanyak. Angka depresi tertinggi ditemukan pada kelompok usia 15–24 tahun, yakni 2%.
Angka-angka ini menggambarkan betapa rentannya remaja di era digital.
Terperangkap di Layar Gadget
Antara 2010 hingga 2015, masa kanak-kanak mengalami perubahan besar. Anak-anak tidak lagi bermain di luar rumah, tetapi mulai beralih ke dunia layar. Mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang dirancang untuk membuat kecanduan.
Perubahan ini terjadi di berbagai negara secara bersamaan. Data menunjukkan peningkatan kecemasan dan depresi tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di banyak negara Eropa dan Asia. Masa kecil berbasis permainan digantikan oleh masa kecil berbasis ponsel.
Dulu, anak-anak belajar menghadapi kegagalan saat bermain di luar rumah. Kini, mereka menilai diri sendiri dari jumlah likes dan komentar. Dunia maya memberi ilusi koneksi, namun justru mengikis hubungan nyata.
Smartphone Merusak dari Dalam
Haidt menjelaskan lebih dari selusin mekanisme yang merusak perkembangan sosial dan neurologis anak, mulai dari kurang tidur, kecanduan, hingga fragmentasi perhatian.
Anak-anak kehilangan waktu tidur karena menatap layar hingga larut malam. Otak yang kekurangan istirahat menjadi rentan terhadap gangguan emosi. Di siang hari, notifikasi terus-menerus mengganggu konsentrasi mereka.
Media sosial memperparah luka itu dengan menciptakan perangkap perbandingan sosial. Remaja membandingkan hidupnya dengan citra sempurna orang lain, lalu merasa tidak cukup baik. Akibatnya, mereka merasa terhubung secara digital, tetapi kesepian dalam dunia nyata.
Penelitian juga menunjukkan media sosial cenderung lebih merugikan remaja perempuan karena tekanan estetika, sementara remaja laki-laki banyak yang menarik diri ke dunia virtual seperti gim daring, kehilangan motivasi di kehidupan nyata.
Jalan Keluar: Empat Aturan Sederhana
Haidt menawarkan empat solusi yang bisa menjadi dasar pemulihan: tidak ada smartphone sebelum SMA, tidak ada media sosial sebelum usia 16 tahun, sekolah bebas ponsel, dan lebih banyak permainan tanpa pengawasan.
Usulan ini mungkin terdengar ekstrem, tetapi perlu dipertimbangkan. Di Indonesia, dengan 46 juta remaja menghadapi risiko meningkatnya gangguan kesehatan mental, pembatasan ponsel bisa menjadi langkah penyelamatan.
Bayangkan sekolah di mana ponsel dikunci selama jam pelajaran. Siswa kembali berbicara, bermain, dan berinteraksi langsung. Orang tua menunda memberikan ponsel hingga anaknya cukup matang secara emosional. Tawa anak-anak kembali terdengar di halaman, bukan hanya di layar TikTok.
Tantangan Bersama, Tanggung Jawab Bersama
Tentu, perubahan tidak mudah. Sebagian peneliti menilai hubungan antara waktu layar dan kesehatan mental belum sepenuhnya pasti. Namun, bukti yang ada cukup kuat untuk mendorong kewaspadaan.
Kita tidak bisa menunggu hingga semua penelitian selesai. Terlalu banyak anak yang menderita sekarang. Sebagai orang tua, guru, dan pembuat kebijakan, kita perlu bertindak.
Indonesia sebenarnya memiliki dasar hukum progresif, seperti Undang-Undang Kesehatan Mental (No.18/2014) dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (No.11/2012). Namun, kesenjangan pelaksanaan di lapangan masih besar, terutama dalam upaya pencegahan dan pelibatan anak muda.
Perlu kolaborasi lintas sektor antara sekolah, keluarga, dan lembaga publik untuk menata ulang pola tumbuh generasi digital.
Harapan untuk Generasi Mendatang
Masa depan masih punya harapan. Saat orang tua berani menunda memberi ponsel, sekolah menegakkan aturan bebas gawai, dan anak-anak kembali bermain di luar, di situlah perubahan perlahan dimulai.
Generasi muda layak mendapatkan masa kecil yang nyata, dengan tawa, luka di lutut, dan pertemanan sejati, bukan sekadar validasi dari dunia maya. Mereka berhak tumbuh dengan ketahanan, bukan kecemasan.
Perubahan itu berawal dari rumah, dari sekolah, dan dari keberanian kita menolak arus yang memenjarakan anak-anak di balik layar. Karena setiap hari yang kita biarkan berlalu tanpa tindakan, ada seorang anak yang perlahan kehilangan masa kecilnya.
