Navaswara.com — Di balik kemajuan kecerdasan buatan (AI) yang tengah mengubah dunia digital, ada dilema lingkungan yang jarang disorot, yakni konsumsi air dalam jumlah masif oleh pusat data yang menjadi tulang punggung teknologi ini. Pusat data bukan hanya rak-rak server berdaya tinggi, tetapi juga mesin raksasa yang “haus” akan air bersih untuk menjaga suhu tetap stabil.
Laporan Ecolab pada Oktober 2025 menunjukkan hanya 46% konsumen Amerika Serikat yang mengetahui bahwa teknologi AI menggunakan air dalam proses operasinya. Padahal, dampaknya kian nyata. Menurut International Energy Agency (IEA), satu pusat data berkapasitas 100 megawatt mengonsumsi sekitar dua juta liter air per hari, setara kebutuhan 6.500 rumah tangga. Secara global, total konsumsi air pusat data mencapai 560 miliar liter per tahun dan diperkirakan melonjak dua kali lipat pada 2030.
Amerika Serikat, yang menampung 40% pusat data dunia, menggunakan sekitar 66 miliar liter air pada 2023, dengan proyeksi naik hingga empat kali lipat lima tahun ke depan. Google sendiri mencatat penggunaan 22,7 miliar liter air pada 2024, naik 8% dari tahun sebelumnya. Satu pusat data mereka di Iowa bahkan menghabiskan 3,8 miliar liter, cukup untuk kebutuhan air seluruh rumah tangga di negara bagian itu selama lima hari.
Sumber Dahaga AI
Air untuk AI digunakan dalam tiga tahap utama. Pertama, pendinginan server. Model AI menghasilkan panas ekstrem yang membutuhkan pendingin berbasis air bersih agar tidak merusak komponen. Sistem evaporatif cooling yang umum digunakan menguapkan hingga 80% airnya. Sebuah pusat data menengah dapat mengonsumsi 110 juta galon air per tahun untuk pendinginan saja.
Kedua, produksi listrik. Banyak pembangkit yang menyuplai energi ke pusat data menggunakan air untuk proses pendinginan, dengan rata-rata 7,6 liter air menguap untuk setiap kilowatt-hour listrik yang dihasilkan. Akibatnya, pusat data di AS menambah konsumsi air tak langsung hingga 800 miliar liter per tahun.
Ketiga, rantai pasokan. Proses pembuatan chip semikonduktor yang menjadi otak AI membutuhkan air ultra-murni dalam jumlah besar untuk menjaga wafer tetap steril. Satu microchip memerlukan sekitar 8–10 liter air dalam produksinya.
Krisis di Wilayah Kering
Ironisnya, banyak pusat data justru dibangun di wilayah rawan air. Bloomberg mencatat lebih dari 160 pusat data AI baru di AS berada di daerah dengan tekanan air tinggi. Tren serupa muncul di Asia, termasuk Indonesia, yang sebagian besar pusat datanya berada di wilayah dengan ketersediaan air terbatas. Mordor Intelligence memperkirakan konsumsi air pusat data Indonesia mencapai 37,8 miliar liter pada 2025 dan bisa melonjak menjadi 86 miliar liter pada 2030.
Jakarta, sebagai lokasi pusat data terbesar, tengah menghadapi ancaman kekeringan serius. Badan meteorologi telah memperingatkan potensi krisis air pada 2040 akibat cuaca ekstrem, polusi, dan minimnya infrastruktur air bersih.
Di berbagai negara, perebutan sumber air antara industri digital dan masyarakat memicu ketegangan. Di Bengaluru, India, pusat data mengonsumsi 8 juta liter air per hari dan memicu protes warga. Di Uruguay, izin pembangunan pusat data Google di tengah kekeringan terburuk memicu kemarahan publik. Beberapa wilayah di Georgia, AS, bahkan melaporkan sumur warga mengering setelah fasilitas serupa dibangun.
Regulasi dan Solusi Teknologis
Masalah lain muncul dari rendahnya transparansi perusahaan teknologi. Amazon tidak mengungkapkan jumlah air yang digunakan, Microsoft hanya mencatat angka agregat, sementara Google menjadi satu-satunya yang melaporkan data tiap lokasi. Di Tiongkok, laporan China Water Risk mencatat peningkatan konsumsi air signifikan oleh Baidu, Xiaomi, dan Tencent, dengan pelaporan yang masih terbatas.
Untuk menekan dampak lingkungan, Uni Eropa telah mewajibkan operator pusat data melaporkan konsumsi air dan energi sejak 2024 melalui kebijakan Energy Efficiency Directive. Teknologi pendinginan baru seperti direct-to-chip cooling dan immersion cooling juga mulai dikembangkan untuk mengurangi penggunaan air hingga 30%. Ecolab bekerja sama dengan Digital Realty menguji sistem konservasi air berbasis AI yang berpotensi menekan konsumsi hingga 15%.
Di Amerika Serikat, RUU Artificial Intelligence Environmental Impacts Act of 2024 mewajibkan pengembangan standar pelaporan dampak lingkungan oleh NIST. Indonesia pun memiliki potensi besar untuk mendorong transisi hijau melalui energi terbarukan. Namun, regulasi yang mewajibkan pusat data menggunakan energi bersih masih menghadapi tantangan dalam penerapannya.
Menimbang Masa Depan
Asia Tenggara kini menjadi magnet investasi pusat data dengan kapasitas pengembangan mencapai 2,4 gigawatt di Malaysia dan ekspansi cepat di Indonesia. Namun, pertumbuhan ini membawa konsekuensi lingkungan yang tak bisa diabaikan. Menurut ASEAN Climate Change and Energy Project, satu megawatt infrastruktur dapat mengonsumsi 25 juta liter air setiap tahun.
Meski AI berkontribusi pada krisis air, teknologi ini juga berpotensi menjadi solusi. Sistem berbasis AI dapat mengoptimalkan irigasi, mendeteksi kebocoran air, dan memantau kualitas sumber daya air. Pertanyaannya kini bukan hanya bagaimana membuat AI lebih cerdas, tetapi seberapa bijak manusia menggunakannya tanpa menguras masa depan planet ini.
