“Perjalanan kepemimpinan terbaik dimulai dari kesadaran diri, diperkuat dengan pembelajaran berkelanjutan, dan diwujudkan melalui dedikasi untuk berbagi kebaikan kepada sesama.”
Navaswara.com – Usia dan jabatan tidak selalu menentukan kedalaman seorang pemimpin. Bagi Dr. Abdul Haris Achadi, S.H., DESS, Sekretaris Utama BASARNAS, kepemimpinan lahir dari kesadaran diri dan kemampuan membaca peluang di tengah ketidakpastian. Baik di ruang birokrasi hingga lapangan operasi, ia selalu menekankan satu hal, bahwa pemimpin yang kuat bukan saja yang terlihat, tetapi yang membangun ketahanan di dalam.
Bagi sosok yang bertugas memimpin biro yang membantu Kepala BASARNAS dalam menjalankan misi pencarian dan pertolongan sejak Januari 2022 ini, kepemimpinan sejati berawal dari penguatan diri sendiri. “Untuk sukses di zaman modern, kepemimpinan harus berangkat dari dalam diri. Tidak mungkin disimpan sendiri; tapi harus bergerak ke luar,” ujarnya saat dijumpai tim Navaswara, menegaskan filosofi self leadership yang menjadi inti setiap tindakannya.
Ketertarikannya pada kepemimpinan kolaboratif diakuinya muncul sejak 2018. Pengalaman mengikuti latihan kepemimpinan di Lembaga Administrasi Negara (LAN) membukakan perspektif tentang pentingnya sinergi kepemimpinan kolaboratif yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ketiga tentang persatuan. “Saya menyadari pentingnya kepemimpinan yang berbasis kolaborasi, bagaimana kita bekerja sama agar tujuan bersama tercapai,” katanya. Filosofi ini juga diterapkan dalam pelatihan bagi calon pegawai BASARNAS, di mana Haris menekankan pengembangan karakter dan kemampuan memimpin diri sendiri sebelum memimpin orang lain.
Selain itu, ia aktif berbagi pengalaman dalam forum dan seminar kepemimpinan. Haris percaya bahwa ilmu yang tidak dibagikan kehilangan maknanya. “Kepemimpinan yang efektif adalah yang bisa memengaruhi dan menginspirasi orang lain, bukan hanya yang terlihat di atas kertas,” ujarnya. Pendekatan ini membentuk kultur kerja di BASARNAS yang menekankan kolaborasi, kedisiplinan, dan integritas.

Membaca Tantangan sebagai Peluang
Perjalanan Haris dipenuhi momen yang membentuk karakter dan ketahanan mentalnya. Saat SD, ia mengaku menjadi satu-satunya murid yang tidak bisa mengaji. “Saat itu saya merasa tertinggal, namun pengalaman itu mendorong saya belajar mandiri dan mulai membangun disiplin diri,” kenangnya. Momen ini menjadi titik awal kesadarannya untuk terus mengasah kemampuan diri.
Masa SMA juga memberikan pelajaran penting tentang kejujuran. Ia pernah menyontek dan menerima kritik halus dari guru, yang kemudian membuatnya sadar akan nilai kejujuran dalam belajar. Kesadaran ini menjadi fondasi dalam membangun integritas pribadi dan profesional. “Pelajaran dari kesalahan masa lalu itu membentuk saya untuk selalu jujur dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Kesadaran akan nilai kejujuran dan tanggung jawab itu juga membekalinya ketika menghadapi perubahan besar dalam karier. Perpindahan karier dari Kementerian Perhubungan ke BASARNAS pun dirasanya mengejutkan, namun akhirnya membuka kesempatan lebih besar. “Saya percaya ini adalah jalan terbaik. Meskipun awalnya tidak terlihat, saya yakin setiap langkah memiliki maksud dan tujuan yang lebih besar,” katanya. Haris menekankan bahwa setiap perubahan adalah bagian dari proses pembelajaran yang membawa manusia pada kapasitas dan tanggung jawab lebih tinggi.
Buku, Akademik, dan Militansi Positif
Setelah bertahun-tahun menapaki berbagai pengalaman hingga tanggung jawab besar di BASARNAS, Haris menyalurkan refleksi dan pelajaran hidupnya ke dalam tulisan. Menulis buku menjadi cara baginya untuk berbagi filosofi kepemimpinan yang lahir bukan sekadar teori. Buku kelimanya, Leadership From Within to Beyond, menekankan pentingnya memimpin dari kesadaran internal sebelum bergerak ke ranah eksternal.
“Buku ini ditujukan bagi siapa pun yang ingin mengembangkan diri, mulai dari anak kuliah hingga profesional berpengalaman,” jelasnya. Ia berharap karya ini dapat memberi panduan praktis mereka yang ingin memiliki ketahanan mental dan spiritual dalam menghadapi tantangan hidup.
Dedikasi Haris terhadap ilmu tidak berhenti di sana. Ia menempuh program S3 di UGM dalam bidang kepemimpinan dengan IPK 3,94, menegaskan komitmen tinggi terhadap pengembangan diri. Dukungan orang tua juga menjadi faktor penting, terutama dalam menekankan nilai investasi untuk manfaat jangka panjang dibandingkan keuntungan finansial. Ketika ia menghabiskan 30 juta rupiah untuk menerbitkan buku pertamanya, ibunya memberikan respons yang hingga kini masih terngiang-ngiang. “Ibu saya ini luar biasanya waktu itu bilang itu adalah investasi yang memberi manfaat lebih daripada sekadar keuntungan materi,” ujarnya.
Keinginan untuk berbagi ilmu terus meluas, tak terbatas pada buku atau kelas formal. Haris mengaku ingin memperluas jangkauan berbagi ilmu melalui platform digital dan kelas besar, agar lebih banyak orang terinspirasi. “Saya ingin berbagi ilmu ke banyak orang, mungkin ratusan hingga ribuan, agar lebih banyak yang bisa merasakan manfaatnya,” katanya. Filosofi militansi positif tetap menjadi inti dari setiap ajarannya, yakni pemimpin yang kuat dimulai dari penguatan diri, ketahanan mental, dan ketenangan spiritual.
Kebahagiaan, Kesadaran, dan Pesan untuk Generasi Muda
Memasuki usia 59, Haris tetap menjaga energi dan kebahagiaan dalam bekerja. “Kebahagiaan adalah sumber energi untuk menghadapi tantangan. Senang dalam bekerja membuat segala tekanan menjadi lebih ringan,” ucapnya. Baginya, menikmati proses kerja dan membimbing orang lain adalah bagian dari kepemimpinan yang sehat dan manusiawi.
Kesadaran diri semakin penting seiring bertambahnya usia. Haris menekankan bahwa umur bertambah bukan sekadar angka, melainkan kesempatan untuk menambah kualitas kesadaran spiritual dan intelektual. “Kesadaran akan diri sendiri memperkaya setiap langkah dan pengalaman, lebih dari sekadar menghitung hari,” katanya. Filosofi ini tercermin dalam cara ia memimpin dan membimbing tim di BASARNAS, memadukan integritas, disiplin, dan empati.
Menutup pembicaraan, Haris menitipkan pesan untuk anak muda agar terus belajar tanpa henti dan siap beradaptasi. “Di era sekarang, belajar harus terus berlangsung. Belajar itu tidak pandang umur. Dunia menuntut adaptasi. Tanpa belajar, kita akan kesulitan menghadapi ujian kehidupan. Teruslah berkembang dan beradaptasi,” ujarnya. Dari anak SD yang kesulitan mengaji hingga menjadi doktor dan Sekretaris Utama BASARNAS, kisahnya mengingatkan bahwa setiap pengalaman, sekecil apa pun, bisa menjadi titik balik menuju prestasi dan kebijaksanaan.
[Wawancara:Iwan Lubis/Naskah: Angie]
